Blogger:Saluran Pemersatu Ummat |
Tabayyun sangat dibutuhkan di zaman yang penuh fitnah
ini. Allah SWT telah memerintahkan kita untuk tatsabbut, Allah Ta’ala
berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا إِنْ جَاءَكُمْ
فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوْا أَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ
فَتُصْبِحُوْا عَلىَ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِيْنَ
“Wahai orang-orang
yang beriman, apabila datang kepada kalian orang fasiq dengan membawa
berita, maka periksalah dahulu dengan teliti, agar kalian tidak menuduh
suatu kaum dengan kebodohan, lalu kalian menyesal akibat perbuatan yang
telah kalian lakukan.” (QS. Al Hujurat : 6).
Terapi dari Alqurân
dengan satu kata inti, yaitu tabayyun. Allah Ta'ala telah menyebutkannya
dalam surat al-Hujurât/49 ayat 6 ini, dan insyaa Allah, akan dilakukan
pembahasan yang ditinjau dari tiga sisi.
Sababun- Nuzûl:
Al-Hâfizh
Ibnu Katsîr menyatakan, ayat ini dilatarbelakangi oleh suatu kasus
sebagaimana diriwayatkan dari banyak jalur. Yang terbaik, ialah dari
Imam Ahmad dalam Musnad-nya, dari jalur kepala suku Banil-Mushthaliq,
yaitu al-Hârits ibnu Dhirâr al-Khuzâ`i, ayah dari Juwairiyah
bintil-Hârits Ummil-Mu`minîn Radhiyallahu anhuma.
Al-Imam Ahmad
rahimahullah berkata : “Kami diberitahu oleh Muhammad ibnu Sâbiq, beliau
berkata : aku diberithu 'Îsâ ibnu Dînâr, beliau berkata : aku
diberitahu oleh ayahku, bahwa beliau mendengar langsung penuturan
al-Hârits ibnu Dhirâr al-Khuzâ`i Radhiyallahu anhu : Al-Hârits
mengatakan: “Aku mendatangi Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Beliau mengajakku ke dalam Islam, akupun menyetujuinya. Aku katakan:
'Wahai, Rasûlullâh. Aku akan pulang untuk mengajak mereka berislam, juga
berzakat. Siapa yang menerima, aku kumpulkan zakatnya, dan silakan
kirim utusan kepadaku pada saat ini dan itu, agar membawa zakat yang
telah kukumpulkan itu kepadamu'.”
Setelah ia mengumpulkan zakat
tersebut dari orang yang menerima dakwahnya, dan sampailah pula pada
tempo yang diinginkan Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ternyata utusan tersebut menahan diri dan tidak datang. Sementara itu
al-Hârits mengira bahwa Allah dan Rasul-Nya marah, maka ia pun segera
mengumpulkan kaumnya yang kaya dan mengumumkan: “Dulu Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menentukan waktu untuk
memerintahkan utusannya agar mengambil zakat yang ada padaku, sedangkan
menyelisihi janji bukanlah kebiasaan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Dan tidak mungkin utusannya ditahan, kecuali karena adanya
kemarahan Allah dan Rasûl-Nya. Maka dari itu, mari kita mendatangi
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
Sebenarnya Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengutus al-Walîd ibnu `Uqbah
kepada al-Hârits untuk mengambil zakat tersebut, tetapi di tengah jalan,
al-Walîd ketakutan, sehingga ia pun kembalilah kepada Rasûlillâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sembari mengatakan: “Wahai, Rasûlallâh!
Al-Hârits menolak menyerahkan zakatnya, bahkan hendak membunuhku," maka
marahlah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengutus pasukan
kepada al-Hârits. Sementara itu, al-Hârits telah berangkat bersama
kaumnya.
Tatkala pasukan berangkat dan meninggalkan Madinah, bertemulah al-Hârits dengan mereka, kemudian terjadilah dialog:
Pasukan
itu berkata: “Ini dia al-Hârits”. Setelah al-Hârits mengenali mereka,
ia pun berkata: “Kepada siapa kalian diutus?" Mereka menjawab:
“Kepadamu”. Dia bertanya: “Untuk apa?”
Mereka
menjawab:“Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
mengutus al-Walîd ibnu `Uqbah, dan ia melaporkan bahwa engkau menolak
membayar zakat, bahkan ingin membunuhnya”.
Al-Hârits menyahut:
“Tidak benar itu. Demi Allah yang telah mengutus Muhammad dengan
sesungguhnya; aku tidak pernah melihatnya sama sekali, apalagi datang
kepadaku”.
Setelah al-Hârits menghadap, Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam bertanya: “(Benarkah) engkau menolak membayar zakat
dan bahkan ingin membunuh utusanku?”
Al-Hârits menjawab: “Itu
tidak benar. Demi Allah yang mengutusmu dengan sesungguhnya, aku tidak
pernah melihatnya dan tidak pula datang kepadaku. Juga, tidaklah aku
berangkat kecuali setelah nyata ketidakhadiran utusanmu. Aku justru
khawatir jika ia tidak datang karena adanya kemarahan Allah dan
Rasul-Nya yang lalu." Maka, turunlah ayat dalam surat al-Hujurât ayat 6
yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang
fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu
tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Tafsir Per Kalimat:
يا أيّها الّذين آمنوا (wahai orang- orang yang beriman).
Ayat
ini diawali dengan seruan kepada ahlul-îmân. Disamping kasus ini
terjadi di antara kaum beriman seperti yang di paparkan di atas, juga
karena berkaitan dengan perintah yang tidak sah dilaksanakan kecuali
oleh orang yang beriman. Ayat ini, sekaligus menunjukkan bahwa
penyelewengan terhadap perintah ini dapat mengurangi kadar keimanan
seseorang. Oleh karena itu, mari kita mempersiapkan telinga dan hati,
seraya memohon kepada Allah agar melapangkan dada kita dengan nasihat
ayat ini.
2. إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا (jika ada orang fâsiq yang datang kepadamu dengan membawa berita penting).
An-Naba`,
artinya isu (kabar) penting. Adapun orang faasiq, ialah pelaku fusuuq,
yaitu orang yang keluar dari ketaatan kepada Allah. Setiap kemaksiatan
adalah fusuuq. Karena itu, faasiq diklasifikasikan menjadi dua macam,
yaitu fâsiq besar dan fâsiq kecil.
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ هُمُ الْفَاسِقُونَ Sesungguhnya orang-orang munaafik itulah orang-orang yang fâsiq. [at-Taubah/9:67].
Kita
juga mengetahui, kemunafikan kaum munafikin pada zaman Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam yang sering disebutkan dalam Al-Qur`ân ialah
kemunafikan i'tiqâdi (besar). Begitu pula tentang Fir'aun dan para
pengikutnya:
إِنَّهُمْ كَانُوا قَوْمًا فَاسِقِينَ Sesungguhnya mereka adalah kaum yang fâsiq. [al-Qashash/28:32].
Kefâsikan
kecil, identik dengan dosa besar yang tidak mengeluarkan pelakunya dari
agama Islam. Seperti berbohong, mengadu domba, memutuskan perkara tanpa
melakukan tabayyun (penelitian terhadap kebenaran beritanya) terlebih
dahulu.
Hal ini banyak pula disebutkan Allah, di antaranya pada ayat-ayat berikut:
وَلَا
يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ ۚ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ
بِكُمْ Dan janganlah pencatat maupun saksi (hutang-piutang) itu
mencelakakan. Dan jika kalian lakukan itu, maka itu menjerumuskan kalian
dalam kefasikan. [al-Baqarah/2:282].
فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ
الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ Maka
barang siapa yang telah menentukan pada bulan- bulan tersebut untuk
berhajji, maka janganlah rafats, jangan pula melakukan fusûq, jangan
pula berdebat pada saat berhaji. [al-Baqarah/2:197].
Dalam
menafsirkan kata (fusûq) dalam ayat di atas, para ulama mengatakan,
yaitu perbuatan maksiat. Dan kefasikan yang dilakukan oleh shahâbi
(sahabat) dalam sababun-nuzûl ayat ini, yaitu kebohongannya dalam
menyampaikan berita.
Imam Al-Qurthubi berkata: "Al-Walîd
dinyatakan fâsiq, artinya berbohong”.Sehingga, dampak dari indikasi
fâsiq menunjukkan bahwa apabila kebohongan saja yang merupakan kefasikan
kecil sudah mengharuskan kita mewaspadai serta perlu untuk tabayyun,
maka apalagi jika perbuatan itu merupakan fâsiq besar.
3. فتبيّنوا (maka telitilah dulu).
Ada
dua qirâ`ah pada kalimat ini. Jumhûr al-Qurrâ membacanya "fatabayyanû",
sedangkan al-Kissâ`i dan para qurrâ` Madinah membacanya "fatatsabbatû".
Keduanya benar dan memiliki makna yang sama. Tentang kalimat ini,
ath-Thabari memaknainya: “Endapkanlah dulu sampai kalian mengetahui
kebenarannya, jangan terburu-buru menerimanya ….” Syaikh al-Jazâ`iri
mengatakan, artinya, telitilah kembali sebelum kalian berkata, berbuat
atau memvonis.
4. أن تصيبوا قوما بجهالة (agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan).
Keterkaitan makna antara ketidaktahuan dengan kesalahan sangat erat, sehingga kata "jahâlah" dimaknai kesalahan.
Imam
Al-Qurthubi mengatakan, "bi jahâlah," maksudnya ialah secara salah.
Adapun kesalahan yang terus dibela serta dicari-cari pembenarannya
dengan berbagai dalih, maka demikian ini merupakan sifat dan kebiasaan
kaum Nashara, sehingga Allah Ta'ala menyebut mereka dengan azh-zhâllîn.
Yaitu orang-orang yang tersesat sebagaimana disebutkan dalam suurat
al-Fâtihah.
Penjelasan dari satu pihak yang mengadu tanpa
tabayyun kepada yang diadukan, dapat menyebabkan keruhnya pandangan kita
terhadap seseorang yang asalnya bersih, sehingga kita berburuk sangka
kepadanya, enggan bertemu dan bahkan memboikotnya, dan akibat yang
ditimbulkannyapun meluas. Jika dalam perdagangan bisa menurunkan omzet,
dalam pergaulan menurunkan simpati, dalam dakwah menjadikan ummat tidak
mau menerima nasihat dan pelajaran yang disampaikannya, bahkan bisa
sampai pada anggapan bahwa semua yang diajarkannya dianggap tidak benar.
Jika demikian, maka yang mendapat kerugian ialah ummat.
5.فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِين (kemudian kalian menyesal atas perlakuan kalian).
Allah
Ta'ala menyebutkan penyesalan ini akan menimpa seseorang yang salah
dalam menjatuhkan keputusan karena memandang suatu masalah (perkara)
tanpa tabayyun, dan bukan dari orang yang diisukan negatif. Karena yang
memvonis ini telah berbuat zhalim. Sedangkan yang tertuduh tanpa bukti,
ia berarti mazhlûm (terzhalimi). Padahal Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah bersabda kepada Mu'adz bin Jabal Radhiyallahu anhu :
وَاتَّقِ
دَعْوَةَ الْمَظْلُوْمِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللهِ
حِجَابٌ Dan hindarilah doa orang yang terzhalimi. Sesungguhnya tidak ada
tabir penghalang antara doa orang yang terzhalimi dengan Allah.
Imam
Asy Syaukani rahimahullah berkata, “Yang dimaksud dengan tabayyun
adalah memeriksa dengan teliti dan yang dimaksud dengan tatsabbut adalah
berhati-hati dan tidak tergesa-gesa, melihat dengan keilmuan yang dalam
terhadap sebuah peristiwa dan kabar yang datang, sampai menjadi jelas
dan terang baginya.” (Fathul Qadir, 5:65).
Pengertian lebih
mendalam dari tabayyun adalah melakukan penelitian. Yaitu suatu kegiatan
yang berupaya mendalami dan memecahkan suatu persoalan denga
menggunakan metode ilmu pengetahuan. Ciri metodologi yang lazim dalam
dunia ilmu pengetahuan bisa sebutkan di sini: Rasiona, berpijak pada
cara berpikir rasional. Obyektif, apapun yang ditelaah atau kaji harus
sesuai dengan objeknya. Empiris, obyek yang dikaji merupakan realitas
atau kenyataan yang dialami manusia.
Kebenaran atau simpulannya
bisa diuji. Bahwa kebenaran teori-teori atau hukum yang diperoleh
melalui proses analisa, harus sanggup diuji oleh siapa saja.
Sistematis,
semua unsur dalam proses kajian harus menjadi kebulatan yang konsisten.
Bebas, dalam penganalisaan fakta-fakta, seseorang harus dalam keadaan
bebas dari segala tekanan dan tidak dipengaruhi oleh kepentingan pihak
tertentu. Berasas manfaaf, kesimpulannya harus bersifat umum dan bisa dimanfaatkan oleh siapa saja yang berkepentingan dalam dakwah.
Relatif,
apa yang ditemukan atau ynng disimpulkan tidak dimutlakkan
kebenarannya, dalam arti memungkinkan untuk diuji oleh temuan berikutnya
atau temuan orang lain.
Melakukan tabayyun dalam arti penelitian
tersebut sudah lama melekat dalam tradisi keilmuan Islam. Sejarah
kebudayaan Islam, yang diwarnai oleh temuan para sarjana-sarjana muslim
macam Al Faraby, Al Khawarizmi, Ibn Khaldun, Imam Gazali, dan banyak
lagi para ilmuwan abad pertengahan, telah mengembangkan model-model
riset seperti itu. Ibnu Khaldun adalah yang kemudian membagi model-model
riset menurut Islam, seperti berikut:
Riset Bayani; yakni
penelitian yang ditujukan untuk mengenali gejala alam dengan segala
gerak-gerik dan prosesnya. Misalnya, mengenai kenapa kupu2
berwarna-warni; kenapa ikan terdiri bergaman jenis dan bagaimana cara
hidup dan pola makananya.
Riset Istiqra’i: Yaitu penelitian yang
ditujukan untuk mencari kejelasan pola-pola kebudayaan dan kehidupan
sosial manusia. Ini yang kemudian berkembang menjadi riset ilmu sosial.
Riset
Jadali: yakni riset yang dimaksudkan untuk mencari hakekat atau
kebenaran yang didasarkan oleh cara berpikir rasional (rasionale
exercise). Di sana biasa digunakan ilmu mantiq dan filsafat.
Riset
Burhani: yakni riset untuk tujuan eksperiman. Misalnya atas temuan obat
tertentu, dilakukan tes di laboratorium. Contoh lain, mencobakan metode
baru dalam pembelajaran terhadap siswa-siswa sekolah.
Riset Irfani: riset yang secara spesifik menjelajah hakekat ajaran Islam. Pada gilirannya menghasilkan ilmu tasawuf.
Tabayyun
yang berhasil adalah apabila mampu mengungkapkan fakta yang bisa
dijamin akurasinya, dan analisis yang jernih. Kejernihan berpikir dalam
menghadapi suatu fakta akan membangun kearifan dalam bertindak.
Termasuk
kearifan dalam berdakwah. Kebenaran-kebenaran informasi yang dihasilkan
melalui proses yang obyektif, diharapkan juga akan membangun sikap
toleran terhadap orang lain, yang sama-sama menjunjung tinggi
obyektivitas.
Dalam kaitan dengan aktivitas dakwah juga, tabayyun
membantu ketepatan dalam menginformasikan berita yang berkaitan dengan
penomena saling menyesatkan dan mengkafirkan oleh individu atau aliansi
tertentu atau menuduh seseorang dan lembaga sebagai pembawa ajaran yang
kontroversi, sehingga kesannya tidak memprovokasi atau mempengaruhi
masyarakat, akhirnya pesan utama dakwah tidak tersampaikan justru sibuk
mempengaruhi masyarakat dengan kebencian dan propaganda.
Orang
yang lebih mengedapankan Tabayyun sebagai gambaran ciri orang yang
memiliki kadar Ilmu Pengetahuan yang benar yang diperoleh dari hasil
penelitian, terutama menyangkut masyarakat yang akan dijadikan sasaran
dakwah, akan sangat membantu ketapatan dalam menyampaikn khabar berita.
Urgensi Tabayyun
Allah
Ta’ala berfirman dalam surah An-Nisa (4 ) ayat ke 94 yang artinya: "Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan
Allah, Maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang
mengucapkan "salam" kepadamu: "Kamu bukan seorang mukmin" (lalu kamu
membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia,
karena di sisi Allah ada harta yang banyak. begitu jugalah Keadaan kamu
dahulu, lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya atas kamu, Maka telitilah.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Pengertian
tabayyun dalam ayat tersebut bisa dilihat antara lain dalam Tafsir al
Qur’an Departemen Agama. Kata itu merupakan fiil amr untuk jamak, dari
kata kerja tabayyana, masdarnya at-tabayyun, yang artinya adalah mencari
kejelasan hakekat suatu atau kebenaran suatu fakta dengan teliti,
seksama dan hati-hati. Perintah untuk tabayyun merupakan perintah yang
sangat penting, terutama pada akhir-akhir ini di mana kehidupan antar
sesama umat sering dihinggapi prasangka. Allah memerintahkan kita untuk
bersikap hati-hati dan mengharuskan untuk mencari bukti yang terkait
dengan isu mengenai suatu tuduhan atau yang menyangkut identifikasi
seseorang.
Belakangan ini seringnya gampang orang atau suatu
kelompok berprasangka negatif terhadap kelompok lain, atau menuduh sesat
golongan lain, dan kadang disertai hujatan, penghakiman secara sepihak,
dan sebagainya.
Berprasangka tanpa meneliti duduk perkaranya, adalah
apriori atau masa bodoh. Mensikapi orang lain hanya berdasar pada
sangkaan-sangkaan negatif atau isu-isu yang beredar atau bisikan orang
lain. Sikap demikian adalah tidak tabayyun, atau tidak mau tahu apa
yang sebenarnya terjadi.
Perintah tabayyun atau mendalami
masalah, merupakan peringatan, jangan sampai umat Islam melakukan
tindakan yang menimbulkan dosa dan penyesalan akibat keputusannya yang
tidak adil atau merugikan pihak lain.
Dengan mengakomodir tafsir
ke 94 Departemen Agama tersebut, tersirat suatu perintah Allah, bahwa
setiap mukmin, yang sedang berjihad fi sabilillah hendaknya bersikap
hati-hati dan teliti terhadap orang lain. Jangan tergesa-gesa menuduh
orang lain, apalagi tuduhan itu diikuti dengan tindakan yang bersifat
merusak atau kekerasan. Terhadap mereka yang mengucap ”Assalamu’alaikum”
atau ”Laa Ilaha Illallah”, misalnya, yaitu ucapan yang lazim dalam
Islam, terhadap orang tersebut tidak boleh dituduh ”kafir”, sekalipun
ucapan itu hanya dhahirnya. Ini hanya sekedar contoh, di mana kita tidak
boleh gegabah dalam mensikapi orang lain, baik secara individu maupun
lembaga.
Mirip dengan istilah tabayyun, dalam Alquran adalah apa
yang disebut nazhara, yang fiil amr-nya adalah unzhur, yang artinya:
lihatlah, amatilah. Ilmu pengetahuan diperoleh melalui proses yang
disebut intizhar, yaitu dimulai dari pengamatan terhadap kenyataan
(realitas) atau pengumpulan data, kemudian dilakukan analisa, dan
menarik kesimpulan. Istilah tersebut ada hubungannya dengan nazhar,
dalam bahasa Indonesia berkembang menjadi kata nalar.
Perintah
melakukan intizhar dalam firman Allah biasanya dalam rangka mengenal
lebih jauh ke-mahabesaran Allah atau untuk dapat mengenal sesuatu gejala
secara mendalam.
Katakanlah: “Ber-Intizharlah kamu terhadap
segala macam gejala di langit dan di bumi. (Bila tidak demikian)
tidaklah memberi manfaat sebagai tanda-tanda kekuasaan Allah untuk
orang-orang yang tidak beriman. (Q.S. Yunus; 10: 101).
Ada
beberapa hikmah lain tabayyun atau intizhar, yang bisa dipetik: (1)
memperluas wawasan. Karena salah satu aspek dalam tabayyun adalah
melakukan telaah dengan membandingkan suatu data dengan data yang lain,
dan mengkaitkan dengan sekian banyak referensi. Sebelum akhirnya menarik
kesimpulan; (2) Mengusung pendalaman pengetahuan. Mengetahi secara
mendalam atas sesuatu masalah akan menumbuhkan kearifan tersendiri dalam
bertindak; (3) Pengujian atas kebenaran informasi. Terlebih lagi,
informasi yang hanya berdasar isu, sudah seharusnya dikonfirmasi, agar
tidak menimbulkan kesalahpahaman; Adakalanya juga suatu informasi sudah
diyakini kebenarannya, namun tidak tersedia data yang lengkap dan akurat
untuk membuktikan kebenaran itu. Maka melalui tabayyun, akan memperkuat
keyakinan akan kebenaran informasi tersebut.
Tabayyun Refresentasi Akhlaq Seorang Muslim Sejati
Seorang
Muslim merupakan cerminan tentang agama yang dianutnya, artinya bahwa
agama Islam akan menjadi baik, memiliki citra yang baik dimata seluruh
kaum muslimin, apalagi di mata orang-orang beragama non muslim, bilamana
akhlaq pemeluk agama tersebut sangat baik. Dan begitupun sebaliknya.
Namun
kadang dalam kehidupan internal ummat Islam terjadi perselisihan antar
sesama dan bahkan berakibat kepada perpecahan. Saling tuduh, saling
fitnah, saling memerangi, dan saling membunuh. Hal tersebut seringkali
disebabkan masing-masing pihak kurang dapat mengendalikan diri, dan
kurang mampu menyaring informasi yang mereka dapat dari pihak lain.
Perintah
tabayyun atau mendalami masalah, merupakan peringatan, jangan sampai
umat Islam melakukan tindakan yang menimbulkan dosa dan penyesalan
akibat keputusannya yang tidak adil atau merugikan pihak lain.
Perlu
dimaklumi bahwa berita yang kita dengar dan kita baca tidak mesti
semuanya benar. Terlebih lagi kita hidup pada zaman yang banyak terjadi
fitnah, hasud, ambisi kedudukan, bohong atas nama ulama, atas nama umat
baik itu dilakukan melalui internet, koran, majalah maupun media masa
lainnya. Berita ini bukan hanya merusak kehormatan manusia, akan tetapi
merusak ajaran Islam dan pemeluknya.
Sikap yang benar yang harus
dilakukan agar kita tidak terpancing oleh berita fitnah ialah
sebagaimana ajaran Islam membimbing kita, di antaranya: Tidak semua
berita harus kita dengar dan kita baca, khususnya berita yang membahas
aib dan membahayakan pikiran. Tidak terburu-buru dalam menanggapi
berita, akan tetapi diperlukan tabayyun dan pelan-pelan dalam
menelusurinya.
Rasululloh sallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“التاني
من الله والعجلّة من الشيطان” “Pelan-pelan itu dari Alloh, sedangkan
terburu-buru itu dari setan.” (Musnad Abu Ya’la: 7/247, dishohihkan oleh
al-Albani: 4/404).
Al-Imam Hasan al-Bashri rahimahullah berkata: “Orang mukmin itu pelan-pelan sehingga jelas perkaranya.”
Syaikh
Sholih Fauzan hafidzahullah berkata: ”Hendaknya kita pelan-pelan dalam
menanggapi suatu perkataan, tidak terburu-buru, tidak tergesa-gesa
menghukumi orang, hendaknya tabayyun.
Sebagaimana firman Allah
‘Azza wa Jalla dalam QS. al-Hujurot[49]: 6 dan QS. an-Nisa[4]: 94.”
(al-Muntaqo min Fatawa al-Fauzan: 3/25). Waspada terhadap pertanyaan
yang memancing, karena tidak semua penanya bermaksud baik kepada yang
ditanya, terutama ketika menghukumi seseorang. Oleh karena itu tidak
semua pertanyaan harus dijawab. Bahkan menjawab ‘saya tidak tahu’ adalah
separuh dari pada ilmu. (Hasyiyatul Utsuluts Tsalatsah: 1/118 oleh
Abdurrohman bin Muhammad an-Najdi).
Syaikh Ibnu Utsaimin
rahimahulloh berkata: “Sesungguhnya sebagian manusia kadang kala salah
dalam memahami perkataan ulama, dan kadang kala seorang ulama memahami
pertanyaan tidak seperti maksud penanya, lalu dia pun menjawab sesuai
dengan yang dia pahami. Kemudian penanya ini menyebarkan perkataan yang
tidak benar. Betapa banyak perkataan yang dinisbahkan kepada para ulama
yang mulia, akan tetapi tidak ada dasarnya. Oleh karena itu wajib bagi
kita meneliti perkataan orang yang memindah fatwa ulama atau bukan ulama
terutama pada zaman sekarang, di mana hawa nafsu dan fanatik golongan
menyebar, sehingga manusia berjalan bagaikan buta mata.” (Tafsirul
Qur’an oleh Ibnu Utsaimin:7/17).
Hendaknya waspada mendengar
berita yang disebarkan oleh pihak yang berprasangka buruk. Alloh ‘Azza
wa Jalla menyuruh kita agar berbaik sangka dan menjauhi buruk sangka.
(Baca QS. al-Hujurot [49]: 12).
Rosululloh sallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ايّاكم والظنّ فانّ الظنّ اكذب الحديث
“Jauhilah dirimu dari persangkaan, maka sesungguhnya persangkaan itu sedusta-dustanya perkataan.”(HR.al-Bukhori:5144).
Jauhilah berita yang bersumber dari peng-ghibah dan pemfitnah.
Syaikh
Ibnu Baz rahimahullah berkata: “Penyebab orang itu memfitnah adakalanya
karena ingin berbuat jelek kepada orang yang difitnah, atau ingin
menampakkan kesenangan kepada yang diberi kabar, atau untuk mendengarkan
cerita atau obrolan perkara yang batil. Ini semua adalah haram, maka
haram bagi kita membenarkan orang yang membawa berita untuk memfitnah
dengan cara apa pun, karena pemfitnah adalah orang fasiq yang wajib
ditolak kesaksiannya.”
Ada orang yang datang kepada Amirul
mukminin, Umar bin Abdul Aziz rahimahullah, dia menjelaskan kejelekan
orang lain, lalu Umar rahimahullah berkata: “Jika kamu mau, kami akan
periksa dahulu berita darimu ini, jika kamu pendusta maka kamu di dalam
QS. al-Hujurot: 6, dan jika kamu benar maka kamu termasuk firman Allah
‘Azza wa Jalla:
هَمَّازٍ۬ مَّشَّآءِۭ بِنَمِيمٍ۬“ Yang banyak
mencela, yang kian kemari menghambur fitnah. ”(QS. al-Qolam [68]: 11).
Jika kamu mau, aku maafkan kesalahanmu.” Lalu orang itu berkata: “Saya
memilih dimaafkan wahau Amirul Mukminin dan saya tidak akan mengulangi
perkataan ini lagi.” (Nihayatul Arbi fi Fununil ‘Adab: 1/347).
Subhaanallaah! Betapa indahnya para penuntut ilmu pemula pada zaman ini
bila mau mengambil faedah dari ulama yang mulia ini, sebuah nasihat emas
yang bermanfaat untuk umat.
Waspadalah dari berita orang yang
mengumbar lisannya tanpa ilmu dan tidak takut dosa. Orang Islam
hendaknya tidak membicarakan sesuatu yang dia tidak tahu , karena Allah
‘Azza wa Jalla mengancam orang yang berbuat dan berbicara tanpa ilmu.
Silahkan baca QS. al-Isra’ ayat 36 dan QS. al-A’raf ayat 33.
“Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu
akan diminta pertanggungan jawabnya” ( Qs. Al-Isra’ : 36 ).
“Katakanlah:
"Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak
ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia
tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan
sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan)
mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui." ( Qs.
AL-‘araf : 33 ).
Waspadalah berita yang disebarkan penyembah hawa
nafsu dan fanatik golongan. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata:
“Ayat ini menunjukkan bahwa manusia wajib meneliti berita terutama yang
disampaikan oleh penyembah hawa nafsu dan fanatik golongan atau
perorangan. Jika berita datang dari orang yang kurang dipercaya, maka
wajib diteliti dan jangan terburu-buru dalam menghukuminya padahal
berita itu dusta, maka kamu akan menyesal. Dari sinilah datang dalil
ancaman keras bagi orang yang menggunjing, yaitu menukil sebagian
perkataan orang yang bermaksud merusak orang lain.
Rosulullah sallallaahu‘alaihiwasallam bersabda:
لا يدخل الجنة فتّات
“Tidaklah masuk Surga orang yang pemfitnah.”(Tafsir Ibnu Utsaimin: 7/16).
Sumber: Republika.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar